Rabu, 21 Mei 2008

cetak vs online


[Melihat judul besar laporan di bawah ini tentu menggembirakan bahwa kehadiran media massa cetak masih diperlukan oleh pembaca. Hanya saja, ini tidak boleh membuat lengah industri koran cetak mengingat tingkat kenaikan oplahnya begitu kecil dibandingkan dengan kenaikan jumlah pembaca berita melalui internet dari waktu ke waktu. Beberapa laporan dari Eropa maupun Amerika bahkan mengabarkan adanya sejumlah koran yang terpaksa tutup dan beralih ke online.
Laporan dari Australia ini kiranya menjadi bahan informasi yang bisa dishare baik oleh kalangan media massa cetak maupun online. ]

Readers Need Print Despite Migration Online

* Newspaper circulation rates vary from a decrease of 5.4 percent to an increase 11.6 percent

The Age
Friday, May 16, 2008

By Matthew Ricketson

ONLINE readership of newspapers is surging around Australia while print editions are moving marginally up or down.

The average number of monthly unique browsers of the most popular online news websites -- smh.com.au, ninemsn news and theage.com.au -- grew 66%, 21% and 56% respectively in the first quarter of this year compared with the same time last year, according to Nielsen Net Ratings.

Readers are developing an online habit at a galloping rate, with all but one of the top 50 news websites experiencing growth.

In comparison, among the nation's metropolitan daily newspapers across Monday to Friday, Saturday and Sunday editions, the circulation of 19 editions fell in the January to March quarter year-on-year, two remained flat and 12 increased, according to Audit Bureau of Circulations figures.

The biggest circulation drop was 5.4% for the Saturday edition of The West Australian, from 367,899 to 348,153 copies.

The largest circulation gain was recorded for the weekend edition of The Australian Financial Review, which grew 11.6%, from 91,528 to 102,114 copies.

The national financial daily benefited from having an additional bumper edition in the audit period.

Total newspaper sales for the quarter were down by 1.1%, but readership of most newspapers increased, according to figures supplied by Roy Morgan Research.

The largest drop in readership among metropolitan daily newspapers was 10.2%, for the weekend edition of The Australian Financial Review.

This contrasted starkly with the newspaper's strong circulation gain and prompted the head of Fairfax Business Media, Michael Gill, to strengthen his complaints about the methodology of Roy Morgan Research. Of the top 50 news websites, PerthNow and Newsphotos increased their readerships more than threefold.

Eight news websites more than doubled their readerships, including Realfooty, produced by The Age, heraldsun.com.au and dailytelegraph.com.au.

Realfooty averaged 294,849 unique monthly browsers between January and March compared with 122,289 for the same time last year, an increase of 141%. Heraldsun.com.au and dailytelegraph.com.au grew 146% and 156% respectively, from 755,801 to 1,855,902 average monthly unique browsers and 579,169 to 1,482,210 average monthly unique browsers.

The exception was The Australian newspaper's stand-alone information technology site, which dropped 1% year-on-year.

The circulation of news magazine Time and business weekly BRW fell by 5% and 3.5% respectively, despite the demise of news magazine The Bulletin early this year.***

Foto diambil dari: www.sweden.se

Kamis, 15 Mei 2008

Cara Membayar Wartawan Online


RBI considers pay-per-page view for online journalists




Speaking on a panel at the PPA's annual conference, Jim Muttram, who founded RBI's Estates Gazette Interactive, said rewarding journalists for the number of page impressions generated by their content online had been mooted by the company.

Journalists would take a lower basic salary in return for the chance to earn a commission style bonus for online content if such a pay model was implemented, Muttram told Journalism.co.uk.

"We have done some thinking about how we might reward journalists for page impressions. It's such a controversial view I think it would take some time before that comes around but it makes good sense," he told delegates.

Fellow speaker John Barnes, managing director of digital strategy and development at Incisive Media, said senior editorial staff within the publisher's titles received bonuses for reaching set online and digital targets.

Incisive has also experimented with performance based pay for blog contributions by journalists, he added, with the fee for each post raised if 'a certain threshold of unique visitors' is reached.

Comments



I am an RBI employee and I cannot tell you how angry this nonsense makes me. From a practical point of view and a HR point of view it is completely unworkable. As the company is up for sale I would prefer the management to put their efforts into something that makes the company a better place to work, not a worse one.

Jumat, 09 Mei 2008

The Future of Mass Media


The Future of Mass Media

Ini adalah blog baru, yang masih sedang dikembangkan. Blog ini akan berbincang-bincang sekitar perkembangan media massa hari ini dan masa depan. Sebab itu, wacana tentang perkembangan internet, milis, blog dan lain-lain akan lebih mendominasi, daripada wacana tentang outlet berita tradisional, yang menggunakan kertas koran.

Mengapa?

Jawaban inilah yang akan kita cari, dan saling berbagi. Tetapi yang pasti, harga kertas koran terus membumbung, stok makin terbatas, sehingga kesempatan orang untuk mengikuti perkembangan informasi akan lebih banyak diperoleh dari dunia maya - internet - melalui fasilitas yang makin canggih dan makin simpel......

(vik)

Kamis, 08 Mei 2008

Media Asing


Munginkah Pers Australia-Indonesia Berbulan Madu?

UNTUK meningkatkan hubungan baik antara Indonesia dan Australia, keterbukaan dan dialog menjadi dua hal yang penting. Demikian dikatakan Presiden Soeharto ketika menerima Ketua Lembaga Indonesia-Australia Bruce Grant di Bina Graha hari Selasa (24/9).

Setelah keesokan harinya membaca berita itu, muncullah pertanyaan: Apakah soal keterbukaan dan dialog di antara kedua bangsa itu selama ini memang kurang? Lantas, kalau kurang, melalui sarana apa saja keterbukaan dan dialog itu dapat ditingkatkan?

Jawaban untuk pertanyaan itu muncul di "Seminar Hubungan Indonesia-Australia: Masalah Budaya, Sosial, dan Politik" yang berlangsung 23-26 September 1991 di Universitas Indonesia. Yaitu bahwa, keterbukaan serta dialog antara kedua bangsa itu memang kurang dan media massa dapat menjembatani kesenjangan itu.

John Schauble, editor luar negeri The Sunday Age - sebuah harian di Australia yang cukup berpengaruh - di seminar itu menjelaskan secara rinci persoalan kesenjangan dialog ini dari perspektif sejarah hubungan media massa Australia dengan Pemerintah Indonesia dan hubungan media massa Australia dengan rekannya di Indonesia sejak tahun 1975. Penjelasannya dimulai tahun 1975 ketika enam wartawan Australia tewas dalam kemelut di Timor Timur. Kematian enam wartawan itu kemudian membawa dampak yang sangat serius dalam peliputan tentang Indonesia oleh media Australia tahun-tahun berikutnya.

Sejak itu, berbagai tulisan mengenai Indonesia pun gencar, apakah itu yang bersifat kritik atau bahkan menuduh, terutama yang menyangkut Timtim, tahanan politik, dan hak asasi manusia. Tulisan itu datang dari wartawan Australia di Australia atau dari lima wartawan Australia yang berkedudukan di Jakarta. Yang paling vokal adalah Radio Australia (ABC). Akibatnya, kegiatan para wartawan Australia itu menjadi keprihatinan pemerintah dan masyarakat pers Indonesia. Pada akhir 1970-an itu, visa bagi kelima wartawan tersebut tidak diperpanjang lagi sehingga pada tahun 1981-1983 tidak seorang pun wartawan Australia berkedudukan di Jakarta.

Visa kemudian baru diberikan lagi tahun 1983 kepada kantor berita Australia (Australian Associated Press). Pada tahun 1985, Australian Financial Review juga menempatkan seorang wartawannya di Jakarta. Hanya kepada kedua media itulah visa diberikan.

Tahun 1986 tampaknya merupakan "puncak perselisihan." Tepatnya adalah tanggal 10 April 1986 ketika The Sydney Morning Herald memuat artikel David Jenkins di halaman mukanya menyangkut Kepala Negara Indonesia. Pemerintah Indonesia, para politikus, dan ABRI menilai tulisan itu merupakan penghinaan terhadap Kepala Negara.

Disebut "puncak perselisihan" karena dampak dari tulisan itu begitu besar, baik terhadap hubungan media kedua negara, maupun terhadap hubungan bilateral. Rencana kunjungan beberapa menteri ke Australia dibatalkan, demonstrasi terjadi di depan gedung Kedubes Australia di Jakarta, dan perundingan mengenai Celah Timor ditunda. Semua itu merupakan bagian dari akibat tulisan itu.

Wartawan Australia juga terkena dampaknya. Selama dua tahun berikutnya tidak satu pun wartawan Australia yang diizinkan mengunjungi Indonesia. Dua visa bagi wartawan Australia yang berbasis di Jakarta juga tidak diperpanjang. Artinya, akses bagi wartawan Australia ke Indonesia sementara ditutup.

Larangan kunjungan wartawan Australia ke Indonesia itu baru dicairkan kembali Maret 1988 ketika wartawan AAP diizinkan tinggal di Indonesia selama setahun. Sebulan berikutnya, lima wartawan Australia juga diberi visa, tetapi waktunya singkat. Sejak saat itu, lebih dari 100 kali kunjungan dilakukan wartawan Australia. Tetapi sampai saat ini, baru wartawan ABC yang diizinkan membuka kembali kantornya di Jakarta setelah ditutup selama 10 tahun.

Kesenjangan informasi

Dalam perspektif Australia, pembatasan penempatan koresponden di Jakarta dan kunjungan wartawan Australia ke Indonesia selama satu setengah dasawarsa itu sangat berpengaruh terhadap memburuknya hubungan antara masyarakat kedua negara.

Sebab, pemahaman sejumlah kecil masyarakat Australia pada umumnya tentang Indonesia dan masyarakat Indonesia menjadi sangat sedikit. Informasi yang mereka peroleh selama itu cenderung berupa gambaran yang negatif dan kurang lengkap tentang Indonesia.

Mengapa demikian? Bukan suatu kemustahilan jika sebuah media massa yang sering dilarang masuk ke sebuah negara menjadi tidak menyukai negara tersebut. Selain itu, situasi demikian sangat tidak memungkinkan bagi wartawan tersebut untuk menjadi ahli atau setidak-tidaknya paham tentang Indonesia dan masyarakat Indonesia.

Artinya, selama itu memang telah terjadi kemacetan dialog yang pada akhirnya menimbulkan kesenjangan informasi dan komunikasi. Sementara berbagai perbedaan, seperti bahasa, ras, kultur, sejarah, politik, perundang-undangan, dan agama telah cukup menyulitkan dibangunnya dialog antara kedua bangsa yang bertetangga ini.

Kemacetan dialog itu ternyata tidak hanya berpengaruh terhadap komunikasi antara kedua bangsa, tetapi juga terhadap hubungan bisnis antara pengusaha kedua negara. Para pengusaha Australia itu hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang perkembangan ekonomi Indonesia. Akibatnya, upaya ke arah penciptaan berbagai kesempatan bisnis menjadi lamban. Kerugian bukan saja di pihak Australia, tetapi juga di pihak Indonesia.

Mitos Barat

Media Australia adalah media Barat dan tampaknya akan tetap menganut prinsip-prinsip kebebasan liberal. Sebab, Pemerintah Australia tidak memiliki kekuatan konstitusional untuk mengatur kegiatan media massa, yang dimiliki oleh swasta. Pemerintah Australia juga tidak mengenal pemberian izin penerbitan media massa sehingga pemerintah tidak berhak untuk menutup surat kabar.

Situasi demikian merupakan pilar utama dalam sistem politik di Australia. Media massa memiliki kesempatan luas untuk bertindak sebagai pengawas sistem politik negara tanpa rasa khawatir.

Kehidupan media massa di Indonesia, menurut perspektif Australia, terlalu menekankan pendekatan harmoni. Pemerintah mengatur izin terbit dan juga dapat membatalkan izin tersebut. Ini merupakan perbedaan yang fundamental. Perbedaan pola budaya atau kehidupan masyarakat pers itulah yang kemudian berkembang menjadi semacam tradisi konflik karena pers Australia kemudian dinilai kurang sensitif terhadap adanya perbedaan budaya tersebut.

Bahkan masyarakat pers Australia menilai bahwa Indonesia melihat peliputan pers Australia mengenai Indonesia itu di luar batas, mencampuri, dan mengancam stabilitas politik. Artinya, secara ideologi, pers Australia dinilai tidak bertanggung jawab, hanya mencari-cari, dan tidak memiliki pertimbangan-pertimbangan mengenai akibat politik dan sosial. Mitos lain mengenai media massa Australia adalah mereka sering terlibat dalam persekongkolan anti-Indonesia.

Jelas bahwa dewasa ini telah berkembang suatu tradisi saling tidak percaya dan saling tidak mengerti antara kedua pihak. Upaya untuk menghapuskan tradisi ini akan memakan waktu beberapa tahun.

"Kami semua tahu tentang adanya keberhasilan yang gemilang dalam proses pembangunan di Indonesia selama 46 tahun terakhir. Sayangnya, keberhasilan itu tidak selalu diketahui negara-negara lain. Kami juga mengetahui adanya pengorbanan dalam perjalanan pembangunan itu," ungkap John Schauble.

Namun, segala pengakuan itu tidak akan ada gunanya jika Indonesia sendiri tidak mengakui adanya kekurangan atau kesalahan. Maka, jika media Australia berdosa karena hanya berkonsentrasi kepada kesalahan-kesalahan Indonesia, mungkin hal itu disebabkan mereka tidak diizinkan untuk melihat keberhasilan-keberhasilan itu.Sebab itu, di masa datang kita bisa berharap bahwa Indonesia akan menerima lebih banyak wartawan Australia dengan penuh keyakinan dan tanpa rasa curiga.

Dubes Australia untuk Indonesia Philip Flood pada pembukaan seminar itu juga menyatakan, salah satu langkah untuk menghapuskan ketegangan dan meningkatkan saling pengertian antara kedua tetangga itu adalah pengenalan lebih banyak lagi tentang Indonesia di dalam media massa Australia. Demikian juga sebaliknya.

Kita berharap agar kedua negara bertetangga itu akan menempatkan masa lalu di belakang kita dan menatap masa depan dengan visi yang selaras satu sama lainnya. (Taufik H. Mihardja)

LKBN Antara


Peran LKBN "Antara" Di Usia Ke-55


"Penegasan Mendagri: Lingkungan tak Menentukan Seseorang adalah Komunis," demikian judul berita utama harian-harian Ibukota pada 15 Desember 1988. Dan diakhir berita-berita Headline itu, ditutup dengan ìhuruf tebal di dalam kurung: (Antara).


Masalah bersih lingkungan memang sedang menjadi isu nasional penting ketika itu. Karena itu tidak heran kalau koran-koran lalu mengutip berita Antara itu sebagai berita utamanya hari itu. Antara ìmemang secara sadar menyiarkan pernyataan Mendagri Rudini bahwa terlalu gegabah dan tidak fair memvonis seseorang agar dikucilkan dari kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara hanya karena saudaranya terlibat kegiatan pemberontakan G-30-S/PKI. Pribadi orang itulah yang harus dijadikan pertimbangan utama, dan persoalannya harus ìdilihat kasus per kasus.


Contoh berita pernyataan Mendagri Rudini tersebut, mungkin hanya beberapa di antara sekian banyak berita yang telah diturunkan Antara dalam menjalankan perannya sebagai sebuah media massa, sekalipun ia milik pemerintah. Dan ini pula salah satu bentuk wujud pergeseran peran Antara saat di mana ia lahir pada waktu perjuangan untuk merebut kemerdekaan, kemudian menegakkan negara Proklamasi 17 Agustus 1945, serta pada saat era era pembangunan sekarang ini. Pergeseran dari peran mengobarkan semangat nasionalisme secara utuh ke peran menyiasati keseimbangan aspirasi masyarakat dan pemerintah seoptimal mungkin.


***


Sejarah berdirinya kantor berita Antara, memang tidak bisa dipisahkan dengan sejarah perjuangan bangsa secara keseluruhan. Antara didirikan 13 Desember 1937 oleh para tokoh berkaliber nasional dan internasional seperti Albert Manoempak Sipahoetar, Raden Mas Soemanang, Adam Malik, dan Pandoe Kartawigoena pada saat penjajahan Belanda yang dipimpin Gubernur Jenderal de Jonge menggunakan tangan besi dalam menghadapi "kaum penghasut". Ini istilah kolonial Belanda bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia.


Waktu itu, penangkapan dan pembuangan para pemimpin pejuang kemerdekaan, termasuk Bung Karno, menjadi sangat lazim dan menjadi salah satu agenda kegiatan pemerintah kolonial yang populer. Tidak kurang dari 27 kali ordonansi pemberangusan pers juga dikenakan pada pers nasional tahun 1931-1936.


Dalam situasi dan kondisi seperti itu, pemuda Adam Malik yang masih berusia 17 tahun meninggalkan Medan menuju Jawa. Setelah merasakan situasi sulit untuk bergerak di Jawa, muncul gagasannya: Kenapa tidak membentuk alat komunikasi dan informasi antarsesama pemimpin gerakan rakyat, terutama yang berada di Jawa dengan massa di belakangnya?


Saat pemerintah Belanda melakukan penangkapan besar-besaran, terutama terhadap mereka yang dicurigai sebagai pengikut dan penganut Tan Malaka dan tergabung dalam PARI (Partai Republik Rakyat Indonesia), Adam Malik dibui di Gang Tengah Salemba. Saat berada di bui itu, ia bertemu pemuda Pandoe Kartawigoena. Mereka lalu membahas gagasan tadi.


Setelah keluar penjara, keduanya bertemu Djohan Sjahruzah, seorang mahasiswa hukum. Mereka kemudian sering berembuk di rumah Haji Agus Salim untuk mematangkan rencana. Setelah matang, pertemuan pun diadakan dengan kalangan Perguruan Rakyat, termasuk Soemanang, yang sudah lama kenal Sipahoetar.


Bertempat di Jalan Raden Saleh Kecil No 2 Cikini, tempat kediaman Soemanang, dibahaslah nama kantor berita yang akan mereka bentuk sebagai wahana penyebaran informasi dan komunikasi. Seorang ìpeserta menanyakan nama sebuah mingguan terbitan Bogor. Soemanang ìmenjawab: "Perantaraan." Peserta itu lantas melemparkan usul, "Bagaimana ìkalau kantor berita kita itu beri nama Antara?"


Semua pandangan waktu itu tertuju kepada Sanoesi Pane, yang dewasa ini dianggap sastrawan. "Itu cukup baik," ujar Pane setelah diam sejenak. Sanoesi Pane waktu itu memimpin surat kabar Kebangoenan.


Waktu keputusan itu diambil, Adam Malik tidak hadir karena belum menampakkan diri. Baru setelah orang membicarakan kantor, Sipahoetar menyebut alamat Buitentijgerstraat (kini jadi Jalan Pinangsia 30), yang ternyata kantor ekspedisi "Pangharapan" yang dihuni Adam Malik. Saat Soemanang menginjakkan kakinya di kantor itu, ia belum mengenal Adam Malik. Tapi ia melihat sebuah alat foto dengan tulisan Adam Malik. Ia baru mengenal Adam setelah diperkenalkan Sipahoetar.


Kantor ekspedisi itu hanya sebuah ruangan kosong, kecuali ada sebuah meja dan sebuah kursi. Keesokan harinya, Soemanang datang dengan sebuah mesin ketik kuno, sedang Adam Malik membawa mesin roneo, sejenis mesin cetak letterpress, yang sangat sederhana. Dan, ...terbitlah buletin pertama Antara pada tanggal 13 Desember 1937 hari itu, yang sebagian besar berisi tajuk surat-surat kabar. Tanggal ini pulalah yang kemudian dijadikan sbagai hari ulang tahun Antara.


Memang, tidak sesederhana itu kantor berita nasional Antara terbentuk. Melainkan melalui berbagai cobaan, tantangan, tentangan, dan segala kekurangan yang ada. Perjalanan panjang itu pula telah mengantarnya dari kantornya yang lama di Gedung Antara di Jalan Antara, Pasar Baru, ke sebuah gedung megah Wisma Antara berlantai 20 (menempati lantai 19 dan 20), di tengah jantung kota di seberang Monas.


Selain di Jakarta, Antara juga mempunyai perwakilan-perwakilan di berbagai daerah di seluruh tanah air, termasuk biro-biro di luar negeri, seperti di Den Haag (Belanda), Berlin (Jerman), Tokyo (Jepang), ìNew York (AS), Canberra (Australia), Yangoon (Myanmar), Kuala Lumpur ì(Malaysia), Cairo (Mesir), Beijing (RRC), Dhaka (Banglades), dan Manila (Filipina).


Gedung Antara di Pasar Baru sendiri, yang telah selesai direnovasi, akan diresmikan sebagai Graha Bhakti Antara, yang diisi dengan informasi, peralatan, bahan-bahan yang menunjukkan bakti LKBN Antara terhadap negara sejak 1937. Gedung ini juga akan berfungsi sebagai galeri foto jurnalistik dan dapat digunakan untuk pameran foto.


Dalam masa pendudukan Jepang, Antara beroperasi sebagai bagian dari kantor berita Jepang, Domei. Tapi, semangat perjuangannya tidak hilang. Ini tercermin dari suksesnya wartawan Antara menyebarluaskan - melalui jaringan komunikasi Domei - berita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 ke seluruh dunia.


Kantor berita Antara yang dikenal sekarang merupakan hasil penggabungan yang terjadi tahun 1962 antara kantor berita Antara (lama) dengan kantor berita lain, yaitu PIA (Pers Biro Indonesia), INPS (Indonesia National Press and Publicity Service), dan APB (Asian Press Board). Antara yang kemudian menjadi "dewasa" pernah dipimpin oleh Adi Negoro, Ismail Saleh (kini Menkeh), August Marpaung, Tranggono SH, Bakir Hasan, dan kini oleh Handjojo Nitimihardjo.


***


Sebagai lembaga dengan fungsi utama menyebarluaskan berita, kegiatan Antara terdiri dari penerimaan berita dari dalam dan luar negeri, seleksi, penyuntingan, pencetakan dan pendistribusian kepada para pelanggan melalui jaringan telex, paket udara, dan kurir.


Setiap hari, seperti dijelaskan Handjojo Nitimihardjo, Antara rata-rata menerima 400 berita dari biro daerah (di seluruh ibukota propinsi dan sejumlah ibukota kabupaten), 551 berita dari kantor berita asing AFP, 544 berita dari Reuter, 224 berita dari UPI, 150 dari PTI (India) dan 450 dari Annex dan Kyodo.


Selain itu, bahan berita juga diperoleh dari wartawan dan koresponden Antara di Biro Antara di luar negeri. Juga diterima atas kerja sama lembaga itu dengan sejumlah organiasasi kantor berita, seperti Kantor-kantor Berita Asia Pasifik (OANA), Kantor Berita Gerakan Nonblok (NANAP), Kantor-kantor Berita anggota OPEC (OPECNA) dan Kantor-kantor Berita Negara Islam (IINA).


Dalam sejarah pertumbuhannya, Antara terus berusaha memodernisasikan ìperalatan. Pada mulanya, pengiriman berita dilakukan melalui sistem ìpemancar, yang kemudian digantikan dengan teknologi maju saat itu, yaitu ìsistem telex, pada tahun 1976.


Sepuluh tahun kemudian (sejak Juli 1986), proses penerimaan, penyuntingan dan pengiriman berita menggunakan komputer dengan kapasitas Unit Pemroses Utama (Main Frame) sebesar 4 MB (Mega Bytes). Dengan teknologi baru itu, proses pelaksanaan tugas penyebaran dan penyampaian berita dipermudah dan dipercepat.


Awal tahun 1993 ini, Antara bahkan akan memasuki program komputerisasi generasi kedua, dengan mengganti seluruh sistem komputernya dengan sistem super komputer dan sistem V-Sat (very small aperture terminal) yang menggunakan satelit.


"Dengan kombinasi kedua sistem itu mulai awal tahun depan, Antara akan dapat meningkatkan pelayanan kepada para pelanggan surat kabar, khususnya dalam penyampaian berita dan foto, 250 kali lebih cepat dari sebelumnya," kata Handjojo.


Keunggulan peralatan baru ini adalah bahwa pengiriman tidak tergantung pada keadaan cuaca dan kecepatannya dihitung dalam detik untuk berita, dan menit untuk foto. Di samping itu, penerimaan berita dan foto lebih sempurna dan pengoperasiannya lebih mudah. Dan yang lebih penting, biaya relatif lebih murah.


Menurut Handjojo, saat ini Antara melayani 64 pelanggan, 58 di antaranya harian di ibukota dan daerah. Lainnya, adalah departemen, kantor gubernur, kedutaan, perusahaan swasta, BUMN dan perorangan. Antara juga melayani RRI dan TVRI.


Produk dan jasa Antara terdiri dari buletin dalam bahasa Indonesia (Warta Berita, Warta Ekonomi & Keuangan, Olah Raga, Info Pasar, Info Finansial, Spktrum Antara, Rekaman Peristiwa dan Warta Perundang-undangan), dan dalam bahasa Inggris (News Bulletin, Financial & Economic News, Daily Market Quiotations, dan Weekly Review). Antara juga menyediakan instant data ekonomi dan keuangan hasil kerja sama dengan Reuters dan Telerate.


Antara kini memiliki sekitar 600 karyawan. Di antaranya, 184 wartawan di kantor pusat, 85 di daerah di seluruh propinsi, tujuh di luar negeri. Karyawan nonwartawan berjumlah 304 orang di kantor pusat dan 54 orang di daerah.


Sebagaimana umumnya keadaan pers nasional yang terus berkembang, ìAntara juga tentu akan terus mengembangkan dirinya, termasuk meningkat ìmutunya. Dalam hal ini menurut Handjojo, "Program pertama adalah ìmeningkatkan software ... orang." Sehingga wartawan yang diterima sekarang minimun D-3 atau setaraf. Mereka juga tidak langsung terjun, tapi dididik melalui program bea siswa di LPJA (Lembaga Pendidikan Jurnalistik Antara) selama enam bulan. Program ini sudah berjalan empat ìtahun terakhir.


Di bidang hardware, Antara terus meningkatkan peralatan. "Bahkan ìkita sekarang sudah menggunakan V-Sat, yang memungkinkan pengiriman ìberita dan foto ke personal computer pelanggan melalui parabola."


Prinsip-prinsip manajemen, tambahnya, juga sudah diterapkan secara modern sejak kantor berita nasional itu dipimpin Bakir Hasan (sekarang Sekjen Departemen Perdagangan) dan diteruskan oleh Handjojo sejak Mei 1988. "Jadi selain telah berhasil menghilangkan defisit, kita sudah meraih keuntungan lumayan," kata Hadjojo. Tidak heran kalau "imbalan" yang diterima wartawan dan karyawannya makin hari makin baik.


Biaya operasional Antara sejauh ini antara lain diperoleh dari pembayaran hak siaran (copyright) berita dan foto, juga pelayanan data seketika (real time data). Tapi, dari segi penerimaan dari media cetak yang dibayar berdasarkan tiras surat kabar, ternyata masih ada kendala. Di PWI/Deppen tercatat total tiras 5,3 juta, tapi yang dibayar kepada Antara baru sekitar 2,5 juta. Padahal, kata Handjojo, selama enam tahun terakhir, Antara tidak menaikkan tarif copyright-nya, yaitu Rp 50/eksemplar/bulan.


Di tengah berbagai kemajuan di usianya yang ke-55 hari ini, mungkin masih banyak hal pula yang masih dituntut dari Antara dalam perannya sebagai sebuah media massa. Dan hal ini pun bukan tidak disadari oleh para pengasuhnya. Seperti dikatakan Handjojo Nitimihardjo, "Memang, kami kantor berita resmi pemerintah. Tapi sebagai kantor berita nasional, kami ini menampung kepentingan masyarakat maupun pemerintah. Di samping itu, kami juga berusaha menjadi wahana edukasi untuk mencerdaskan bangsa. Jadi meskipun milik pemerintah, tidak berarti suara masyarakat diabaikan. (Taufik H. Mihardja)