Kamis, 08 Mei 2008

Media Asing


Munginkah Pers Australia-Indonesia Berbulan Madu?

UNTUK meningkatkan hubungan baik antara Indonesia dan Australia, keterbukaan dan dialog menjadi dua hal yang penting. Demikian dikatakan Presiden Soeharto ketika menerima Ketua Lembaga Indonesia-Australia Bruce Grant di Bina Graha hari Selasa (24/9).

Setelah keesokan harinya membaca berita itu, muncullah pertanyaan: Apakah soal keterbukaan dan dialog di antara kedua bangsa itu selama ini memang kurang? Lantas, kalau kurang, melalui sarana apa saja keterbukaan dan dialog itu dapat ditingkatkan?

Jawaban untuk pertanyaan itu muncul di "Seminar Hubungan Indonesia-Australia: Masalah Budaya, Sosial, dan Politik" yang berlangsung 23-26 September 1991 di Universitas Indonesia. Yaitu bahwa, keterbukaan serta dialog antara kedua bangsa itu memang kurang dan media massa dapat menjembatani kesenjangan itu.

John Schauble, editor luar negeri The Sunday Age - sebuah harian di Australia yang cukup berpengaruh - di seminar itu menjelaskan secara rinci persoalan kesenjangan dialog ini dari perspektif sejarah hubungan media massa Australia dengan Pemerintah Indonesia dan hubungan media massa Australia dengan rekannya di Indonesia sejak tahun 1975. Penjelasannya dimulai tahun 1975 ketika enam wartawan Australia tewas dalam kemelut di Timor Timur. Kematian enam wartawan itu kemudian membawa dampak yang sangat serius dalam peliputan tentang Indonesia oleh media Australia tahun-tahun berikutnya.

Sejak itu, berbagai tulisan mengenai Indonesia pun gencar, apakah itu yang bersifat kritik atau bahkan menuduh, terutama yang menyangkut Timtim, tahanan politik, dan hak asasi manusia. Tulisan itu datang dari wartawan Australia di Australia atau dari lima wartawan Australia yang berkedudukan di Jakarta. Yang paling vokal adalah Radio Australia (ABC). Akibatnya, kegiatan para wartawan Australia itu menjadi keprihatinan pemerintah dan masyarakat pers Indonesia. Pada akhir 1970-an itu, visa bagi kelima wartawan tersebut tidak diperpanjang lagi sehingga pada tahun 1981-1983 tidak seorang pun wartawan Australia berkedudukan di Jakarta.

Visa kemudian baru diberikan lagi tahun 1983 kepada kantor berita Australia (Australian Associated Press). Pada tahun 1985, Australian Financial Review juga menempatkan seorang wartawannya di Jakarta. Hanya kepada kedua media itulah visa diberikan.

Tahun 1986 tampaknya merupakan "puncak perselisihan." Tepatnya adalah tanggal 10 April 1986 ketika The Sydney Morning Herald memuat artikel David Jenkins di halaman mukanya menyangkut Kepala Negara Indonesia. Pemerintah Indonesia, para politikus, dan ABRI menilai tulisan itu merupakan penghinaan terhadap Kepala Negara.

Disebut "puncak perselisihan" karena dampak dari tulisan itu begitu besar, baik terhadap hubungan media kedua negara, maupun terhadap hubungan bilateral. Rencana kunjungan beberapa menteri ke Australia dibatalkan, demonstrasi terjadi di depan gedung Kedubes Australia di Jakarta, dan perundingan mengenai Celah Timor ditunda. Semua itu merupakan bagian dari akibat tulisan itu.

Wartawan Australia juga terkena dampaknya. Selama dua tahun berikutnya tidak satu pun wartawan Australia yang diizinkan mengunjungi Indonesia. Dua visa bagi wartawan Australia yang berbasis di Jakarta juga tidak diperpanjang. Artinya, akses bagi wartawan Australia ke Indonesia sementara ditutup.

Larangan kunjungan wartawan Australia ke Indonesia itu baru dicairkan kembali Maret 1988 ketika wartawan AAP diizinkan tinggal di Indonesia selama setahun. Sebulan berikutnya, lima wartawan Australia juga diberi visa, tetapi waktunya singkat. Sejak saat itu, lebih dari 100 kali kunjungan dilakukan wartawan Australia. Tetapi sampai saat ini, baru wartawan ABC yang diizinkan membuka kembali kantornya di Jakarta setelah ditutup selama 10 tahun.

Kesenjangan informasi

Dalam perspektif Australia, pembatasan penempatan koresponden di Jakarta dan kunjungan wartawan Australia ke Indonesia selama satu setengah dasawarsa itu sangat berpengaruh terhadap memburuknya hubungan antara masyarakat kedua negara.

Sebab, pemahaman sejumlah kecil masyarakat Australia pada umumnya tentang Indonesia dan masyarakat Indonesia menjadi sangat sedikit. Informasi yang mereka peroleh selama itu cenderung berupa gambaran yang negatif dan kurang lengkap tentang Indonesia.

Mengapa demikian? Bukan suatu kemustahilan jika sebuah media massa yang sering dilarang masuk ke sebuah negara menjadi tidak menyukai negara tersebut. Selain itu, situasi demikian sangat tidak memungkinkan bagi wartawan tersebut untuk menjadi ahli atau setidak-tidaknya paham tentang Indonesia dan masyarakat Indonesia.

Artinya, selama itu memang telah terjadi kemacetan dialog yang pada akhirnya menimbulkan kesenjangan informasi dan komunikasi. Sementara berbagai perbedaan, seperti bahasa, ras, kultur, sejarah, politik, perundang-undangan, dan agama telah cukup menyulitkan dibangunnya dialog antara kedua bangsa yang bertetangga ini.

Kemacetan dialog itu ternyata tidak hanya berpengaruh terhadap komunikasi antara kedua bangsa, tetapi juga terhadap hubungan bisnis antara pengusaha kedua negara. Para pengusaha Australia itu hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang perkembangan ekonomi Indonesia. Akibatnya, upaya ke arah penciptaan berbagai kesempatan bisnis menjadi lamban. Kerugian bukan saja di pihak Australia, tetapi juga di pihak Indonesia.

Mitos Barat

Media Australia adalah media Barat dan tampaknya akan tetap menganut prinsip-prinsip kebebasan liberal. Sebab, Pemerintah Australia tidak memiliki kekuatan konstitusional untuk mengatur kegiatan media massa, yang dimiliki oleh swasta. Pemerintah Australia juga tidak mengenal pemberian izin penerbitan media massa sehingga pemerintah tidak berhak untuk menutup surat kabar.

Situasi demikian merupakan pilar utama dalam sistem politik di Australia. Media massa memiliki kesempatan luas untuk bertindak sebagai pengawas sistem politik negara tanpa rasa khawatir.

Kehidupan media massa di Indonesia, menurut perspektif Australia, terlalu menekankan pendekatan harmoni. Pemerintah mengatur izin terbit dan juga dapat membatalkan izin tersebut. Ini merupakan perbedaan yang fundamental. Perbedaan pola budaya atau kehidupan masyarakat pers itulah yang kemudian berkembang menjadi semacam tradisi konflik karena pers Australia kemudian dinilai kurang sensitif terhadap adanya perbedaan budaya tersebut.

Bahkan masyarakat pers Australia menilai bahwa Indonesia melihat peliputan pers Australia mengenai Indonesia itu di luar batas, mencampuri, dan mengancam stabilitas politik. Artinya, secara ideologi, pers Australia dinilai tidak bertanggung jawab, hanya mencari-cari, dan tidak memiliki pertimbangan-pertimbangan mengenai akibat politik dan sosial. Mitos lain mengenai media massa Australia adalah mereka sering terlibat dalam persekongkolan anti-Indonesia.

Jelas bahwa dewasa ini telah berkembang suatu tradisi saling tidak percaya dan saling tidak mengerti antara kedua pihak. Upaya untuk menghapuskan tradisi ini akan memakan waktu beberapa tahun.

"Kami semua tahu tentang adanya keberhasilan yang gemilang dalam proses pembangunan di Indonesia selama 46 tahun terakhir. Sayangnya, keberhasilan itu tidak selalu diketahui negara-negara lain. Kami juga mengetahui adanya pengorbanan dalam perjalanan pembangunan itu," ungkap John Schauble.

Namun, segala pengakuan itu tidak akan ada gunanya jika Indonesia sendiri tidak mengakui adanya kekurangan atau kesalahan. Maka, jika media Australia berdosa karena hanya berkonsentrasi kepada kesalahan-kesalahan Indonesia, mungkin hal itu disebabkan mereka tidak diizinkan untuk melihat keberhasilan-keberhasilan itu.Sebab itu, di masa datang kita bisa berharap bahwa Indonesia akan menerima lebih banyak wartawan Australia dengan penuh keyakinan dan tanpa rasa curiga.

Dubes Australia untuk Indonesia Philip Flood pada pembukaan seminar itu juga menyatakan, salah satu langkah untuk menghapuskan ketegangan dan meningkatkan saling pengertian antara kedua tetangga itu adalah pengenalan lebih banyak lagi tentang Indonesia di dalam media massa Australia. Demikian juga sebaliknya.

Kita berharap agar kedua negara bertetangga itu akan menempatkan masa lalu di belakang kita dan menatap masa depan dengan visi yang selaras satu sama lainnya. (Taufik H. Mihardja)

Tidak ada komentar: